Jumat, 23 April 2010

Hasta Brata, Filosofi Kepemimpinan Jawa

Etika Kepemimpinan dalam masyarakat Jawa dikenal dengan istilah “Hasta Brata”. Istilah ini diambil dari buku Ramayana karya Yasadipura I yang hidup pada akhir abad ke-18 (1729-1803 M) di keraton Surakarta.

Secara etimologis, “hasta” artinya delapan, sedangkan “Brata” artinya langkah. Secara terminologis berarti delapan langkah yang harus dimiliki seorang pemimpin dalam mengemban misi kepemimpinannya. Langkah-langkah tersebut mencontoh delapan watak dari benda-benda di alam yakni Bumi, Matahari, Bulan. Bintang, Api, Angin, laut, dan Air.

* Bumi, wataknya adalah ajeg. Sifatnya yang tegas, konstan, konsisten, dan apa adanya. Bumi menawarkan kesejahteraan bagi seluruh mahkluk hidup yang ada di atasnya. Tidak pandang bulu, tidak pilih kasih, dan tidak membeda-bedakan.

* Matahari selalu memberi penerangan (di kala siang), kehangatan, serta energi yang merata di seluruh pelosok bumi. Energi dari cahaya matahari juga merupakan sumber energi dari

Jumat, 16 April 2010

“DOSA” PANITIA PENTAS WAYANG KULIT

Artikel ini sangat menarik dan memiliki banyak filosofinya, untuk menyadarkan kita semua. Terima kasih untuk pak mBilung Sarawita yang memberi izin untuk memuat artikel beliau di blog ini. Berikut artikelnya.

“DOSA” PANITIA PENTAS WAYANG KULIT

Penulis:
Condro Bawono
penggemar pentas wayang kulit, tinggal di Kota Magelang
mbilung_sarawita@yahoo.com
mbilung@javacity.net

Keberhasilan suatu pagelaran wayang kulit semalam suntuk dapat diukur dari proporsi antara jumlah penonton sebelum babak “gara-gara” dengan jumlah penonton sesudah babak “gara-gara”. Dari banyak pertunjukan wayang kulit yang pernah penulis tonton, hanya beberapa kali penulis melihat jumlah penonton bisa dipertahankan sampai pagi. Pada kebanyakan kasus, setelah babak “gara-gara” selesai, sebagian besar penonton meninggalkan lokasi pentas dan tidak kembali lagi. Bahkan, tidak jarang terjadi, sebelum babak “gara-gara” pun, ketika pertunjukan baru berjalan satu-dua jam, banyak penonton sudah mulai meninggalkan lokasi.

Kenyataan ini cukup memprihatinkan, mengingat bahwa sesungguhnya justru di babak pasca “gara-gara” itulah berbagai pertanyaan, persoalan dan misteri yang disajikan oleh sang dalang selama babak pra “gara-gara” menjadi terjawab, terselesaikan dan terungkap. Para penonton tidak menikmati satu lakon wayang secara utuh. Nilai-nilai adiluhung dan ajaran kebajikan yang “dibawa pulang” oleh para penonton menjadi tidak lengkap pula.

Dari pengamatan penulis, keadaan itu terjadi bukan semata-mata karena faktor kualitas dan popularitas dalang. Kalau cuma karena faktor dalangnya tidak populer, tentunya jumlah penonton sudah sedikit sejak awal pertunjukan. Tetapi yang penulis prihatinkan sering terjadi
Kritik, Saran, dan Keluhan
adhis_96@yahoo.co.id
Powered By Blogger